Penulis Senior
Edi Sedyawati
-----------
Edi
Sedyawati (lahir di Malang, 23 Oktober 1938) adalah penulis dan arkeolog
Indonesia.
Akibat
perang, masa kecil Edi Sedyawati sempat dilewatkan di kota pengungsian. Ketika
Jepang masuk (tahun 1942), bersama beberapa keluarga, ia dan adiknya yang masih
bayi dibawa ibunya mengungsi dari Semarang ke Kendal, Jawa Tengah. Sementara
itu, ayahnya, tokoh pergerakan, pergi ke luar kota. Setelah beberapa lama, Edi
– yang belakangan dikenal sebagai penari dan arkeolog -- bertemu ayahnya yang
kemudian membawanya mengungsi ke rumah kakeknya di Ponorogo, Jawa Timur. Setelah
keadaan aman, Edi diboyong keluarganya ke Magelang —ketika itu ayahnya menjadi
pembantu gubernur di kota ini. Kemudian mereka pindah lagi ke Yogyakarta.
Bersamaan dengan perpindahan ibu kota dari Yogyakarta ke Djakarta, sang
ayah—yang waktu itu bekerja
di Kementrian Dalam Negeri—memboyongnya ke Jakarta.
Di sini, Edi menyelesaikan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. “Menari itu hobi, dan arkeologi itu studi,”
kata mantan Dirjen Kebudayaan ini. Ia tertarik pada balet sesudah menontonnya
di bioskop. Tapi, setelah terpukau oleh pemeran Abimanyu di sebuah pertunjukan
wayang orang, Edi mempelajari tari Jawa dan bergabung dengan Ikatan Seni Tari
Indonesia. Ayahnya, Imam Sudjahri—pengacara, redaktur koran Indonesia Raja
sehabis perang, kemudian Sekjen Departemen Sosial RI—memang menginginkan dia
belajar menari. Pada 1961, Edi sudah turut memperkuat misi kesenian Indonesia
ke berbagai negara. Ketertarikannya pada benda purbakala muncul waktu SMP,
setelah ia diajak ayahnya jalan-jalan ke Jawa Tengah melihat candi-candi. “Saya
terpukau oleh peninggalan masa lalu dan sejak saat itu saya terobsesi untuk
mempelajarinya,” kata Edi. Obsesinya tercapai setelah menempuh pendidikan
jurusan arkeologi Universitas Indonesia sampai meraih gelar doktor dengan
predikat magna cum laude.
Jangan
heran, karena Edi memerlukan waktu lima tahun untuk menyelesaikan disertasinya,
yang berjudul “Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan
Sejarah Kesenian”. Termasuk untuk berburu arca Ganesha, dari Museum Nasional
Jakarta ke berbagai pelosok di Jawa Tengah, sampai ke pusat-pusat dokumentasi
dan benda purbakala di Belanda. Melalui dunia purbakala juga, ia meniti karier
akademi sampai menjadi guru besar di almamaternya.
Tari
dan purbakala akhirnya dapat dipertemukannya. Tatkala membuat penelitian
tentang sejarah tari Jawa dan Bali, Edi menggalinya dari data arkeologi.
"Karier akademi saya juga bisa mengikuti dua jalur itu,” ujarnya. Sewaktu
mendirikan Jurusan Tari di Institut Kesenian Jakarta, ia memanfaatkan
pengalamannya menyusun kurikulum di tempatnya mengajar, Fakultas Sastra UI.
Dan, agar lebih memantapkan bidang kesenian, ia mengikuti kursus etnomusikologi
di East-West Center, Honolulu, Hawaii, AS, 1975.
Sebagai
arkeolog, Edi prihatin dengan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap purbakala
dan tari negerinya. “Secara umum, masyarakat masih belum mengerti tentang
perlunya merawat peninggalan purbakala,” ujarnya. Sebagai penari dan pengamat
tari klasik Jawa, ia tidak puas dengan perkembangan tari di Indonesia.
“Kebudayaan menjurus kepada hiburan dan (budaya) populer,” kata pengagum Bung
Karno dan Koentjaraningrat ini. Kalau itu dibiarkan terus, menurut Edi,
kualitas bangsa Indonesia nantinya juga sekualitas hiburan saja. “Padahal,
seharusnya kita menjadi bangsa yang mempunyai kemantapan pengalaman batin dan
pemahaman konseptual,” ujar penerima bintang “Chevalier des Arts et Letters”
dari Prancis itu.
Kedua
anaknya, yang sudah berkeluarga, tak lagi merepotkannya. Toh Edi masih sangat
sibuk. Selain memeriksa tesis, skripsi, disertasi, persiapan mengajar,
melaksanakan penelitian, ia sering juga diminta ikut serta dalam simposium,
seminar, di dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, ia tidak punya waktu
untuk melakukan hobinya memotret dan menyetir mobil. Tapi, soal memperhatikan
penampilan, Edi masih meluangkan waktu. “Penampilan itu perlu, supaya enak
dilihat orang lain,” tukasnya.
Biografi
Nama
: Edi Sedyawati
Lahir
: Malang, 28 Oktober 1938
Agama
: Islam
Pendidikan
:
SR
Kris, Jakarta (1951)
SMP
Negeri I, Jakarta (1954)
SMA
Negeri I, Jakarta (1957)
Jurusan
Arkeologi Universitas Indonesia (S1, 1963)
Fakultas
Sastra Universitas Indonesia (doktor, 1985)
Karier
:
Pengajar
Fakultas Sastra UI (1963–sekarang)
Ketua
Jurusan/Akademi Tari, LPKJ (1971-1977)
Ketua
Jurusan Arkeologi UI (1971-1974)
Ketua
Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (1971-1976)
Anggota
Dewan Pengurus Harian DKJ (1971-1974)
Pembantu
Dekan I Fakultas Kesenian Institut Kesenian Jakarta (IKJ; 1978-1980)
Pembantu
Rektor I IKJ (1986-1989)
Ketua
Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra UI (1987-1993)
Kepala
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya UI (1989-1993)
Anggota
Konsorsium/Komisi Disiplin Ilmu Seni (1990-sekarang)
Direktur
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1999)
Governor
untuk Indonesia, Asia-Europe Foundation (1999-2001)
Kegiatan
Lain :
Ketua
Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jakarta (1986-1990)
Ketua
I Masyarakat Sejarawan Indonesia (1990-1993)
Penasihat
Masyarakat Musikologi Indonesia (kemudian berganti nama Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia)
Ketua
Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia komisariat UI (1992-1993)
Ketua
Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (1995-1999, 1999-2002)
Karya
:
Pertumbuhan
Seni Pertunjukan, Seri Esni No. 4, Sinar Harapan (1980)
Penghargaan
:
Hasil
Penelitian Terbaik Universitas Indonesia bidang Humaniora (1986)
Bintang
Jasa Utama Republik Indonesia (1995)
Satyalencana
Karya Satya 30 tahun (1977)
Bintang
"Chevalier des Arts et Letters" dari Republik Perancis (1997)
Bintang
Mahaputera Utama (1998) - Penghargaan UI sebagai peneliti senior berprestasi
(2001)
Ayah
: Imam Sudjahri
Anak
: dua orang